Kamis, 14 Oktober 2010

Gombal Menggombal a la Neruda

Ciuman Hujan: Seratus Soneta Cinta
Pablo Neruda
Terjemahan Indonesia oleh Tia Setiadi dari terjemahan Inggris Stephen Tapscott 100 Love Sonnets atas Cien sonetos de amor (1960)
Penerbit Mahda, 2009


Para sejoli tahu, puisi cinta yang baik bukanlah yang paling jujur, namun justru yang paling gombal dan bombastis. Bukan begitu, o kalian yang sedang kasmaran?

Tak terkecuali 100 soneta cinta yang dipersembahkan Pablo Neruda untuk Matilde Urrutia ini. Matilde boleh jadi sumber inspirasi (muse) Neruda yang tak habis-habis, tapi seperti ditulis oleh sahabat Neruda yang juga penulis dahsyat dan politisi kawakan di Partai Komunis, Volodia Teitelboim: Neruda cinta mati Matilde, tapi bukan berarti cintanya tidak beredar ke perempuan-perempuan lain. Boleh jadi puisi-puisi ini ditulis buat Matilde, tapi bukan berarti perempuan yang menemani tidurnya pasti Matilde. Pokoknya persis perilaku Florentino Ariza di
El amor en los tiempos del cólera
-nya García Márquez (yang meniduri ratusan perempuan tapi cinta sejatinya cuma buat Fermina Daza). Bahkan salah satu penyesalan Neruda seperti tertulis di buku Teitelboim adalah mengapa ia tidak bisa mencintai 2 miliar perempuan sekaligus yang hidup pada zamannya?

Makanya, siapa suruh percaya penyair?

Tapi seriusnya nih, buku bagus ini lagi-lagi cacat dalam terjemahan, sekalipun Tia Setiadi harus diacungi jempol sebagai penerjemah puisi yang sangat mumpuni. Permasalahannya lebih kepada "terjemahan dari terjemahan", yang mungkin poinnya bisa saya perjelas satu per satu berikut ini:

1) Saya memang punya ideal agar setiap buku terjemahan diterjemahkan langsung dari bahasa aslinya, bukan bahasa kedua (yang kebanyakan Inggris). Tapi ini memang cuma ideal. Melihat kondisi riil Indonesia, lebih baik banyak buku sastra dunia diterjemahkan dari bahasa kedua ketimbang tidak beredar sama sekali karena tiadanya penerjemah yang memadai untuk bahasa asing di luar Inggris.

2) Namun dalam kasus buku terjemahan dari bahasa kedua, setidaknya penerjemah harus bekerja ekstra lebih tekun dan lebih teliti dalam mencocokkannya ke bahasa aslinya. Upaya Hasif Amini menerjemahkan Borges (Labirin Impian, terbitan LKiS) mungkin bisa dicontoh. Sadar bahwa dia tidak bisa berbahasa Spanyol, Hasif Amini menerjemahkan dari dua versi terjemahan Inggris sambil mencoba mencocokkannya sebisa mungkin ke versi asli.

3) Dalam kasus Neruda ini, penerjemah memakai terjemahan Stephen Tapscott, padahal ada terjemahan lebih baru dari Terence Clarke. Keduanya semestinya dicocokkan. Kenapa? Karena terjemahan Tapscott banyak dikritik (juga dipuji) membuat Neruda jadi lebih "surealis". Tapscott dengan penuh kesadaran tahu bahwa bahasa Inggris tidak akan bisa menyamai ritme soneta-soneta Neruda yang sangat luar biasa (dan punya tradisi kuat) dalam bahasa Spanyol. Karena itu dia mengimbanginya dengan "bentuk", yakni kuatnya pilihan kata yang ia gunakan.

4) Tapscott sendiri sebenarnya menulis pengantar padat 4 halaman yang menjelaskan soal itu. Dia tahu betul terjemahan Inggrisnya akan berisiko kehilangan apa yang dia sebut sebagai "the sense of voice-as-formal-determinator". Dengan berbasis pada terjemahan Tapscott, alangkah bagusnya bila penerjemah Indonesia membuat juga catatan tentang proses penerjemahannya, yang dia tahu betul didasarkan pada "versi yang sudah kehilangan ritme ala Tapscott" itu (Tia Setiadi memang menulis catatan panjang di akhir buku yang menurut saya, maaf, kurang menjelaskan apa-apa, kecuali sebagai biografi ringkas Neruda). Mengapa menurut saya ini penting? Karena kalau kita baca terjemahan Terence Clarke, akan didapat kesan yang beda lagi tentang soneta-soneta Neruda ini.

5) Dengan mencocokkan ke puisi asli Neruda, sebenarnya penerjemah Indonesia juga berpotensi untuk membalik terjemahan Tapscott yang sudah kehilangan ritme menjadi kembali punya ritme, karena kata-kata dalam bahasa Indonesia punya akhiran huruf vokal a, u, i, lebih banyak ketimbang bahasa Inggris dan pelafalannya lebih mirip bahasa Spanyol.

6) Seperti pernah saya bahas sebelumnya di thread dan update status laman Goodreads saya, ada kesalahan-kesalahan yang terjadi karena tidak ada pencocokkan dengan versi lain atau versi asli. Kesalahan ini sebenarnya juga bisa dengan mudah dihindari dengan banyak-banyak bertanya dan melacak, mencari tahu arti frase yang tampak "mencurigakan" dan tidak buru-buru mempercayainya.

Katakanlah frase "mawar-bergaram" (soneta XVII hlm. 19). Saya pikir siapapun akan langsung mengernyit membaca frase ini. Apa maksudnya? Mawar ditaburi garam? Atau seperti celetuk seorang teman saya: asinan mawar? Ternyata itu hanya "rosa de sal" (atau dalam bahasa Inggrisnya "salt-rose", yang disebut oleh para penggemar tanaman di Indonesia sebagai "mawar jepang").

Masih di soneta yang sama, satu kata persis sesudah "mawar-bergaram", ada "manikam". Aslinya "topachio"/"topaz", yang lebih tepat diterjemahkan jadi "ratna cempaka", bukan "manikam". Kenapa? Karena manikam berwarna putih, sementara batu topaz berwarna kuning. Neruda ingin menekankan warna merah mawar, kuning ratna cempaka, dan anyelir untuk disandingkan dengan "nyala api" di baris keduanya.

Lalu pada soneta XXIV hlm. 26:
el mar, la nave, el día se desterraron juntos
semestinya: laut, kapal, hari tercerabut bersama-sama
tertulisnya: "terasing bersama".
 
Saya kurang tahu mengapa desterraron bisa jadi "terasing" karena imaji yang dipakai Neruda di situ adalah "awan-awan naik ke langit menjulang", jadi maksudnya semuanya terangkat ke atas. Sehingga "terasing" menjadi tidak tepat.

7) Kasus frase "mawar-bergaram" ini saya kira persis dengan "angsa-angsa berdebu" yang pernah saya temui dalam Selamat Jalan, Tuan Presiden (kumpulan cerpen Gabriel
García Márquez yang juga diindonesiakan dari terjemahan Inggris, terbitan Bentang). Mungkinkah angsa debuan? Frase "angsa-angsa berdebu" (aslinya: los cisnes polvorientos) sesungguhnya merujuk pada angsa yang ada semburat warna kelabu, alusi García Márquez pada uban dan ketuaan. 

Mengapa frase yang sederhana ini lalu bisa menjadi frase yang sukar dimengerti "angsa berdebu" atau "mawar bergaram" dalam terjemahan Indonesia? Saya kira, sebagiannya adalah karena asumsi keliru bahwa penulis Amerika Latin suka memakai imaji-imaji seliar-liarnya dengan embel-embel realisme magis dsb itu (baca esai saya ini), sehingga apa saja jadi mungkin. Ini salah besar. Salah dalam terjemahan dan salah dalam memahami apa itu realisme magis. García Marquez selalu bersandar pada realisme, begitu pula Neruda. Seperti dikutip sendiri di catatan penerjemah Indonesia, yang bersumber dari buku Latin American Writers at Work (hlm. 70), Neruda juga tidak percaya simbol: "Laut, ikan, burung-burung ada secara materiil buat saya … Merpati menandai merpati dan gitar menandai alat musik bernama gitar." Tidak ada yang aneh-aneh. Dengan ini semestinya, frase macam "mawar-bergaram" harusnya langsung menimbulkan kecurigaan untuk mencari arti yang sebenar-benarnya dan tidak diterima begitu saja.

8) Selebihnya adalah kesalahan-ke
salahan ketik umumnya, yang bisa ditangani dengan kehadiran editor yang lebih teliti: Srilanka tertulis Srilangka, Robert Frost tertulis Robert Prost, Sartre tertulis Sarte, ganggang tertulis gangang dlsb.

Jadi, simpulannya: buku terjemahan ini tetap menarik. Puisi paling gombal dan bombastis yang mungkin bisa dipakai buat bahan speak sana speak sini hahaha..

2 komentar:

  1. Terjemahan Salt Rose untuk 'mawar Jepang' sepertinya kurang pas ya. Mengingat kata-kata sebelumnya berkaitan dengan mineral batuan topaz, sepertinya salt rose yang dimaksud adalah nama batuan salt rose yang memang betulan ada nama batu spt itu. Apalagi jenis batuan ini populer di Amerika Latin. IMO.

    http://www.21food.com/products/andean-rose-salt-stone-305127.html

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, terima kasih, bung/nona, bisa jadi itu betul

      Hapus