Kamis, 14 Oktober 2010

Ketika Rakyat Tak Butuh Partai Politik

Seeing
José Saramago
Terjemahan Inggris oleh Margaret Jull Costa dari Ensaio sobre a Lucidez (2004)
Harvill Secker, 2006


Meninggalnya José Saramago pada Juni 2010 lalu sungguh membuat saya merasa kehilangan. Membaca novel-novelnya memang tak pernah mudah, tapi sungguh worth the effort! Jarang-jarang saya mendapati renungan sosial-politik tentang kehidupan kontemporer kita yang semendalam novel-novel Saramago, peraih Hadiah Nobel Sastra 1998 ini.

Novel Seeing ini misalnya, bisa berkisah banyak tentang demokrasi dan perpolitikan kita sekarang. Saramago seakan bertanya: apa yang terjadi kalau ternyata rakyat tidak butuh partai-partai yang ada sekarang? Alkisah pada hari pemilu di ibukota, hujan turun luar biasa lebat. Hampir tidak ada pencoblos yang datang. Petugas “KPU” dan wakil-wakil partai yang menunggu di TPS gelisah dan senewen, kuatir tentang banyaknya golput. Tapi begitu cuaca reda menjelang petang, orang-orang pun mulai berdatangan. Wakil-wakil partai lega, padahal… baru di sini masalah sesungguhnya timbul: 13% untuk Partai Kanan (Parkan), 9% untuk Partai Tengah (Parteng), 2,5% untuk Partai Kiri (Parkir). Sisanya: kosong! (lebih dari 70%). Pemerintah mengulang pemilu minggu depannya: 83% kertas suara kosong!

Pemerintah pun panik. Dengan dalih bahwa seluruh sistem demokrasi akan runtuh bila kondisi ini dibiarkan, pemerintah menyebar intel ke mana-mana mencari-cari “dalang” kejadian ini, mencanangkan keadaan darurat, mengungsikan seluruh pejabat pemda dari ibukota. Presiden bahkan usul membangun tembok mengepung ibukota agar pembangkangan ini tidak menular ke seluruh negeri. Pemerintah mencanangkan perang melawan warganya sendiri! Mereka sepertinya tidak bisa terima kenyataan bahwa warga tidak butuh mereka. Pemerintah meneror warganya demi menegakkan apa yang mereka sebut: demokrasi. Ironis sekali kan? Ini sungguh sindiran menakjubkan bagi sistem demokrasi modern, dan b
uku ini sungguh saya rekomendasikan ke teman-teman menjelang Pemilu.

Bila kita tidak percaya kandidat-kandidat yang ada sekarang, cara di novel ini boleh dicoba: tetap datang ke TPS (bukan apatis), tetap masuk bilik (bukan golput), tapi tidak mencoblos/menconteng apa-apa. Aksi yang sangat jelas untuk mengatakan: kami percaya demokrasi, tapi tidak percaya cecunguk-cecunguk macam kalian!

Satu lagi kejeniusan Saramago menurut saya: sepertinya ingin menunjukkan bahwa sistem politik yang ada sekarang justru mematikan kemanusiaan, semua tokoh di novel ini tak bernama, hanya dicantumkan jabatannya: kepala negara, wakil Parteng, opsir polisi, ketua dewan kota dsb. Satu-satunya yang ada namanya cuma anjing: Constant.

Brilian!

4 komentar:

  1. buku seeing sudah di terjemahkan ke bahasa indonesia yah bang ? penerbitnya siapa ? sakauw pengen baca buku nya nih...tengkyu untuk informasinya. bersemangat.............

    BalasHapus
  2. Belum. Satu-satunya buku Saramago yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia adalah Blindness

    BalasHapus
  3. hmmmm begitu yah bang, yowes d irna hunting buku blindness saja dulu sebagai hidangan pembuka. Kudoakan abang panjang umur, sehat selalu dan diberi rejeki untuk menterjemahkan buku seeing.amin :-)

    BalasHapus
  4. Saya akan baca . Terimakasih infonya ..

    BalasHapus