Jumat, 15 Oktober 2010

Tiga Hari Bersama Gabo (1)

"Three Days with Gabo", Silvana Paternostro.
Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus dari George Plimpton (ed.), Latin American Writers at Work – The Paris Review (Modern Library, 2003), hlm. 155 – 181. (Catatan kaki dari penerjemah Indonesia).

Naskah terjemahan Indonesia ini dipakai sebagai salah satu materi Kelas Narasi ETF, Jakarta.


Silvana Paternostro menulis soal Amerika Latin dan isu-isu perempuan untuk World Policy Journal, The Paris Review, New York Times, New Republic, dan pelbagai terbitan lainnya. Dua bukunya berjudul: In the Land of God and Man: A Latin Woman’s Journey (1998) dan My Colombian War: A Journey Through the Country I Left Behind (2007).


Sedih melihat apa yang tengah menimpa jurnalisme Amerika Latin, Gabriel García Márquez –Nobelis sastra penulis Seratus Tahun Kesunyian yang sendirinya seorang mantan wartawan—pada Maret 1995 merintis apa yang ia sebut sebagai “sekolah tanpa tembok”: Yayasan Jurnalisme Ibero-Amerika Baru. Lewat lokakarya-lokakarya keliling, yayasan ini bertujuan meremajakan kembali jurnalisme di kawasan itu. García Márquez bersikeras bahwa pengajaran dan praktik jurnalisme perlu renovasi mendesak. Ia mengeluh bahwa jurnalis-jurnalis zaman sekarang lebih tertarik memburu breaking news dan keuntungan serta privelese dari kartu pers mereka ketimbang kreativitas dan etika. Mereka menyombongkan diri bisa membaca sepucuk dokumen rahasia sampai jungkir balik, tapi karya mereka penuh kesalahan tatabahasa dan ejaan, serta kurang kedalaman. “Mereka tidak digerakkan oleh pemahaman bahwa cerita terbaik bukanlah yang pertama kali dimuat, tapi yang paling bagus dituturkan,” tulisnya dalam sambutan peresmian yayasan.
 
García Márquez mengkritik cara universitas-universitas dan penerbit suratkabar di Amerika Latin memperlakukan profesi ini (yang ia anggap pekerjaan paling bagus sedunia). Tidak sependirian dengan pendapat sekolah-sekolah profesional bahwa wartawan itu bukan seniman, García Márquez menganggap jurnalisme cetak adalah “suatu bentuk sastra”. Ia juga ingin meyakinkan suratkabar-suratkabar agar mengurangi investasi dalam teknologi dan memperbanyaknya dalam pelatihan personil.
 
Dengan bantuan UNESCO, yayasan García Márquez yang bermarkas di Barranquilla, Kolombia, sudah menggelar 28 lokakarya selama kurang dari dua tahun, yang dihadiri oleh 320 jurnalis dari 11 negara. Tema lokakarya berkisar dari pengajaran teknik narasi dalam reportase cetak, radio, dan televisi, sampai diskusi tentang etika, kebebasan pers, liputan dalam keadaan bahaya, serta tantangan teknologi baru terhadap profesi ini. Lokakarya- lokakarya ini diajarkan oleh para profesional kawakan dan ditujukan bagi generasi wartawan yang lebih muda, lebih disukai di bawah umur 30 tahun dengan pengalaman sedikitnya 3 tahun. Meski bermarkas di Kolombia, pelatihan digelar juga di Ekuador, Venezuela, Meksiko, dan Spanyol. Inti kurikulum yayasan ini adalah lokakarya 3 hari perihal reportase yang diajarkan sendiri oleh García Márquez.
 
Sebagai jurnalis lepas yang telah menulis soal Amerika Latin dalam bahasa Inggris, aku mendaftar dan diterima untuk lokakarya kelima. Aku begitu bersemangat bertemu dia, sampai-sampai aku —yang biasanya terlambat buat apa saja—jadi orang pertama yang tiba di Pusat Kebudayaan Spanyol di Cartagena, rumah tingkat dua yang dipugar dengan apiknya, dengan begonia-begonia merah dan air mancur di pelataran, milik pemerintah Spanyol. Latar ini tak bisa lebih cocok lagi. Cartagena adalah kampung halaman García Márquez. Banyak tokoh novelnya melangkah di jalanan konblok sempit pusat kota kolonial itu. Sekian petak dari Pusat Kebudayaan itu, Florentino Ariza mengamati bahwa cara jalan Fermina Daza bukan lagi cara jalan gadis sekolahan. Sierva María de Todos los Angeles, gadis 12 tahun yang rambutnya terus tumbuh jauh sesudah ia meninggal, tinggal di Biara Santa Clara dekat situ. Berbatasan dengan tembok-tembok yang menjaga Cartagena aman dari bajak laut Inggris, rumah García Márquez di sini begitu dekat dengan biara –kini hotel bintang lima—sampai-sampai para tamu bisa memandang langsung tanpa halangan ke dalam rumah sang penulis. “Bikin jengah,” seorang tamu hotel memberitahuku. “Saban pagi aku bisa melihatnya sarapan. Akhirnya, kututup saja gordennya.”


SENIN, 8 APRIL 1996
09.00

Aku salah seorang dari 12 jurnalis yang duduk melingkari meja lonjong besar dari kayu. Kami sangat tenang, laiknya murid-murid penuh disiplin dari sekolah Yesuit yang menunggu kelas dimulai. Gabriel García Márquez membuka pintu dan masuk, memandangi kami dengan usil, seolah-olah tahu betapa tegangnya kami. García Márquez –Gabo, demikian tiap orang mengenalnya— berpakaian putih-putih. Di sini, di pesisir Karibia wilayah Kolombia, kaum pria kerap berpakaian putih-putih. Semuanya putih sampai ke sepatu. Ia mengucapkan selamat pagi dan, hanya sedetik, rasanya kami seperti harus berdiri, membungkuk atau sungkem dan menjawab serempak: “Buenos días, profesor.”
 
Dua kursi kosong di ruangan itu menghadap jendela dengan sandaran menghadap pintu. Gabo menunjuk César Romero, jurnalis Meksiko yang duduk di sebelahku –kami berdua menghadap pintu—dan memintanya tukar kursi.
 
“Aku kebanyakan nonton film koboi,” katanya, “aku tak pernah duduk memunggungi pintu. Apalagi aku yakin musuhku lebih banyak ketimbang kalian.”
 
“Tentu saja, Don Gabriel,” kata César Romero.
 
Waktu Gabo berjalan mendekat, aku teringat percakapanku dengan seorang teman dari Kuba yang belum lama ini lulus dari sekolah film yang didirikan García Márquez di pinggiran Havana, tempat ia sesekali mengajar. “Bakal asyik kau nanti,” kata Juan Carlos. “Di kelas ia selalu lebih perhatian pada cewek ketimbang cowok. Ia bilang perempuan membawa hoki buatnya.” Kupandangi sekeliling meja. Dari 12 peserta, cuma Andrea Varela dan aku yang perempuan.
 
Gabo duduk di kiriku, dan aku gugup. Tanganku mulai berkeringat. Kuusapkan ke celana. Aku silangkan tangan. Ia silangkan kaki. Aku lihat ke lantai. Sepatu runcingnya disemir mengkilap dan berwarna putih. Aku mendongak. Gelang arlojinya juga putih. Kucermati guayabera-nya, kemeja yang digemari pria-pria Latin itu, dipakai di luar celana dengan lebihan di bagian pinggang, bersaku empat, dan kadang ada bordiran atau renda. Aku selalu mengidentikkannya dengan kakek-kakek, anggota kabinet, atau tuan tanah—pria-pria yang lazimnya bau kolonyet atau kadang bau skot. Kemejanya sederhana, tanpa renda, tanpa bau, dibuat dari lenan yang begitu halus sampai nyaris tembus pandang. Celana kerutnya yang dari katun menimbulkan kontras lucu dan tak terduga.
 
Ke atas meja ia letakkan dompet kulit hitam, sejenis dompet yang ditenteng-tenteng kaum pria tahun ’70-an. Dengan kacamata terpasang, ia keluarkan daftar peserta dari map hitam— tempat ia menyimpan pula artikel-artikel yang diminta dari kami untuk diajukan, sepotong reportase yang akan dikritik dan disunting Gabo selama tiga hari kerjanya bersama kami. Satu-satunya bunyi hanyalah deru AC. Tak ada yang benar-benar memandangi Gabo, meskipun kami semua, reporter-reporter bonafid ini, pernah berada dalam situasi yang jauh lebih runyam ketimbang ini. Rubén Valencia dari Cali berpergian seorang diri ke Urabá, zona terganas di Kolombia, tempat pengedar narkoba, kaum gerilyawan, dan kelompok-kelompok paramiliter saling bantai satu sama lain. Wilson Daza menghabiskan 20 hari keluyuran di pusat kota Medellín dengan pemadat, pelacur, dan anggota-anggota geng. César Romero meliput pemberontakan Zapatista di Chiapas. Edgar Téllez menyelidiki dugaan hubungan Presiden Samper dengan kartel obat bius.
 
Tapi semenjak Gabo memenangkan Hadiah Nobel 1982, ia telah beranjak dari seorang penulis Seratus Tahun Kesunyian menjadi selebritis dan aktor politik penting. Di Amerika Latin, terutama di Kolombia dan Meksiko, tempat ia menghabiskan sebagian besar waktunya, bahkan presiden pun tidak punya perawakan setaranya. Di sini ketenarannya hanya tertandingi oleh bintang sepak bola dan ratu kecantikan. Orang mencegatnya di jalan minta tanda tangan, bahkan orang-orang yang belum membaca bukunya. Presiden, menteri, politisi, penerbit suratkabar, pimpinan gerilya berkonsultasi dengannya, mengiriminya surat, ingin dia ada. Apapun yang ia ucapkan, tentang topik apapun, selalu jadi headlines. Tahun lalu sebuah kelompok gerilyawan Kolombia menculik saudara mantan presiden. Mereka menuntut García Márquez menerima jabatan presiden. Dalam permohonannya mereka menulis: “Nobel, tolong selamatkan Tanah Air.”
 
Bagi kami orang Kolombia, menyebut García Márquez dengan nama panggilannya Gabo berarti mendekatkan sukses pada kami. Dan seperti sanak keluarga yang bangga, kebesaran Gabo kami jadikan kebesaran sendiri. Di sebuah kawasan yang ditelikung kekerasan, kemiskinan, peredaran narkoba, dan korupsi, dialah putra kebanggaan keluarga—bahkan oleh mereka yang tidak setuju akan pertemanannya dengan Fidel Castro. Di Barranquilla, kota kelahiranku, tempat ia bekerja sebagai reporter tahun 1950, dan tempat ia berjumpa dengan istrinya Mercedes, su mujer de siempre, ia benar-benar dipeluk semua orang. Bahkan ia bukan lagi Gabo melainkan Gabito—nama kecil mesra dengan apa para orang tua, pacar, dan sahabat memanggil orang kesayangan mereka.
 
Namanya muncul di kontes-kontes kecantikan kami sesering nama Paus. Jawaban para kontestan jadi repetitif: Siapa penulis favoritmu? García Márquez. Siapa yang paling kamu kagumi? Ayahku, Paus, dan García Márquez. Siapa yang ingin kau jumpai? García Márquez dan Paus. Bila pertanyaan yang sama diajukan pada jurnalis Amerika Latin, jawabannya bisa jadi sama—kecuali soal Paus barangkali. Bagi kami, jurnalis Amerika Latin yang baru meniti karir, dialah sang panutan. Kami suka bilang bahwa sebelum jadi novelis ia seorang reporter. Ia sendiri bilang ia tak pernah berhenti jadi reporter.
 
Gabo membacakan nama-nama kami dari daftar dan menambahi komentar masing-masingnya—selalu ingin tahu, selalu hangat. Rubén Valencia dan beberapa lainnya memanggil dia maestro, yang bagiku kedengaran agak terlampau menghormat. Aku sering kali menyebutnya Gabo waktu sedang mengobrol tentangnya, tapi begitu di hadapannya hal itu terasa sedikit terlalu sok akrab. Ia paling ramah dengan Andrea yang sudah pernah ikut lokakaryanya. “Kau lebih banyak menghabiskan waktu di lokakarya ini ketimbang di kerjaanmu,” guraunya, memanggil dia Andreita. “Akan kami telpon bosmu dan memintanya mengirim ranjangmu kemari.” Andrea pemalu, dan keramahan Gabo membuatnya tersipu.
 
Pintu tiba-tiba terbuka dan seorang pemuda –terengah-engah, kemeja biru muda lengket di dadanya dan koran dijepit di bawah lengannya—membawa masuk hawa panas dan keriuhan pusat kota Cartagena.
 
“Permiso,” ia minta maaf, dan buru-buru duduk di sebelah César Romero.
 
“Dan siapa gerangan kamu?”
 
“Tadeo Martínez.”
 
Tadeo gugup dan Gabo tahu itu.

“Tadeo Martínez. El Peródico de Cartagena,” ucapnya sambil membaca dari daftar. “Rekan-rekanmu di sini datang dari, coba lihat, Caracas, Bogotá, Cali, Medellín, San José, Meksiko, New York, dan Miami, tapi kau, yang datang dari pojokan sana, malah paling akhir tiba.”
 
Kami semua merasa tidak enak padanya, tapi lantas Gabo menggeleng dan tersenyum.
 

10.00

Gabo mengawali sesi dengan membicarakan bukunya tentang Simón Bolívar –gabungan semua Bapa-Bapa Bangsa kami: George Washington, Thomas Jefferson, dan Benjamin Franklin—yang memerdekakan lima negara dari kekuasaan Spanyol dan mengimpikan persatuan Amerika Latin, imperium yang menjulur dari California sampai jauh ke Tierra del Fuego. El Libertador, sebagaimana tergambar dalam potret-potret yang tergantung di tiap dinding kantor publik, selalu berpakaian seragam militer yang dikanji, siap bertempur atau menunggang kuda putihnya.
 
“Tapi tak seorang pun pernah mengatakan dalam biografi-biografi Bolívar bahwa ia bernyanyi atau ia sembelit,” kata Gabo. Tambahnya pula, ia yakin dunia ini terbelah jadi dua kelompok: “Mereka yang lancar buang air dengan yang tidak; ini membentuk perangai yang sangat berbeda. Tapi sejarawan tidak menyebutkan soal-soal macam begini karena mereka menganggapnya tidak penting.” Ketidakpuasannya akan gambaran afkiran yang diberikan para sejarawan resmi kepada pahlawannya itulah yang menjadi sebab mengapa ia memutuskan menulis Sang Jenderal dalam Labirinnya (1), yang lembar-lembarnya memuat cerita lengkap perihal tokoh yang memberi pengaruh penting pada pemikiran politiknya. Ia memberitahu kami bahwa ia menulisnya dalam bentuk reportaje, reportase.
 
“Reportase adalah cerita lengkap, rekonstruksi utuh sebuah peristiwa. Tiap detil kecil punya makna. Inilah dasar kredibilitas dan kekuatan cerita. Dalam Sang Jenderal dalam Labirinnya, setiap fakta yang bisa diverifikasi, tak peduli betapapun sepelenya, bisa memperkuat karya keseluruhannya. Misalnya, aku tempatkan bulan purnama –bulan purnama yang begitu gampang disisipkan itu—pada malam Simón Bolívar tidur di Guaduas tanggal 10 Mei 1830. Aku ingin tahu adakah bulan purnama malam itu, maka kutelepon Akademi Sains di Meksiko dan mereka temukan bahwa sesungguhnya memang ada. Bila tidak, yah, aku tinggal mencoret bulan purnama itu dan selesai sudah. Bulan ini detil yang tidak dicermati siapapun. Tapi bila ada satu fakta palsu dalam sebuah reportase, maka segala lainnya ikut palsu. Dalam fiksi, bila ada satu fakta yang bisa diverifikasi –bahwa ada bulan purnama malam itu di Guaduas—maka pembaca akan mempercayai segala lainnya.”
 
Seseorang bertanya soal teknik-teknik fiksi dalam reportase. Gabo menjawab bahwa ia mengagumi karya-karya Gay Talese, Norman Mailer, dan Truman Capote, semua yang mempraktikkan Jurnalisme Baru. “Satu-satunya aspek sastra dalam Jurnalisme Baru adalah gaya narasinya. Praktik sastra diperbolehkan selama ia bisa dipercaya dan memegang teguh semua fakta yang bisa diverifikasi.”

Sembari ia mengucapkan ini, aku teringat laporan yang ditulis Gabo tentang Caracas sewaktu kemarau hebat dan tentang seorang pria yang bercukur dengan sari blewah—sebuah fakta yang sepenuhnya kredibel dan bisa diverifikasi, tapi juga sangat berbau sastra. Kata orang Gabo terlalu kreatif untuk jadi jurnalis yang baik. Lagipula, dia inilah penulis yang dalam novel-novelnya mengatakan dengan lempang bahwa Si Cantik Remedios melayang ke angkasa dan bau Santiago Nasar seusai kematiannya meresapi seisi kota.
 
Seolah-olah membaca pikiranku ia berkata, “Episode-episode aneh dalam novel-novelku itu semuanya riil, atau punya titik berangkat dan basis pada realitas. Kehidupan nyata selalu jauh lebih menarik daripada apa yang bisa kita karang.” Ia bilang bahwa mengawangnya Si Cantik Remedios terilhami oleh seorang wanita yang ia lihat sedang membentangkan sprei putih bersih dengan tangan terentang ke matahari. Ia juga bilang bahwa “untuk bergerak antara yang magis dan menakjubkan, orang harus jadi jurnalis.”

Ia memberitahu kami soal Caldas (2), yang aslinya ditulis sebagai cerita bersambung tatkala ia bekerja sebagai staf reporter El Espectador di Bogotá. Gabo ditugasi menulis petualangan seorang pelaut yang terombang-ambing di tengah samudra, tapi kisah ini tidak menarik buatnya. “Semua koran sudah menulis soal itu.” Tapi lantas ia mengalah. Di zaman itu, tahun ’50-an –seperti zaman ketika novel Charles Dickens tampil di koran-koran London—cerita bersambung adalah perangkat jual yang lazim. Tugas Gabo adalah mewawancarai si pelaut dan menuliskan kisahnya dalam segmen-segmen. Setelah dua bagian pertama terbit, Don Guillermo Cano, redaktor koran itu (dibunuh oleh kartel obat bius pada 1986) menghampiri mejanya. “‘Oiga, Gabrielito, cerita-cerita yang kau tulis itu—fiksi atau nyata?’ Kuberitahu dia, ‘Itu novel dan itu nyata.’ Lantas ia bertanya padaku, ‘Dan berapa banyak bagian lagi yang menurutmu akan kau ajukan?’"
 
“ ‘Dua lagi,’ jawabku."
 
“ ‘Enak saja, penjualan melipat tiga. Beri aku seratus.’"
 
“Kutulis empat belas."
 
“Aku tahu pelaut itu menghabiskan empat belas hari terombang-ambing di samudra,” Gabo bercerita pada kami, “jadi kuputuskan untuk menulis empat belas bab, satu untuk tiap-tiap hari di lautan. Aku duduk dengan orang itu lagi dan mulai mengiris hari-harinya jadi lebih tipis lagi. Aku mulai menanyainya apa yang diperbuatnya saban hari, lantas apa yang diperbuatnya tiap-tiap jam, lalu tiap-tiap menit. Aku bertanya padanya jam berapa hiu-hiu tiba, jam berapa ia makan.”


TENGAH HARI

Hampir jam makan siang. Gabo mulai bicara pukul sembilan tepat dan belum berhenti. Lebih dari mengajar, Gabo mengobrol, bercerita. Selama lebih dari tiga jam kami berdua belas duduk, cuma sedikit bicara. Aku belum sarapan tapi tidak merasa lapar. Ia tidak minum kopi tapi banyak dari kami minum kopi. Teman yang sempurna bagi cerita-ceritanya. Para pendongeng, menurutnya, dilahirkan bukan diciptakan: “Ibarat penyanyi, menjadi pendongeng itu adalah sesuatu yang dianugerahkan hidup kepadamu. Ini tidak bisa dipelajari. Teknik, ya, itu bisa dipelajari, tapi kemampuan mendongeng ini sesuatu yang lahir bersamamu. Mudah membedakan pendongeng yang bagus dengan yang jelek: mintalah seseorang menceritaimu soal film terakhir yang mereka tonton.”
 
Lalu ia tekankan, “Yang susah adalah menginsyafi bahwa kau bukan pendongeng, lalu punya keberanian untuk maju terus dan melakukan sesuatu lainnya.” César Romero nanti memberitahuku, bahwa dari semua pernyataan Gabo, inilah yang paling menyentaknya.
 
Ia kasih contoh. Sebentar setelah menerima Hadiah Nobel, seorang jurnalis muda di Madrid menghampiri Gabo waktu sedang keluar dari hotel dan meminta wawancara. Gabo, yang tidak suka dimintai wawancara, menolaknya, tapi mengundang si jurnalis perempuan ini untuk menemani ia dan istrinya sepanjang hari. “Ia habiskan sepanjang hari itu bersama kami. Kami belanja, istriku tawar menawar, kami makan siang, kami berjalan, kami mengobrol; ia ikut kami ke mana-mana.” Waktu mereka pulang ke hotel dan Gabo siap berpamitan, si jurnalis meminta wawancara. “Kuberitahu dia bahwa dia harus ganti kerjaan,” kata Gabo. “Dia punya cerita lengkapnya, dia punya reportase.”

Gabo melanjutkan membahas perbedaan antara wawancara dengan reportase—sebuah kerancuan, katanya, yang terus menerus diperbuat jurnalis. “Wawancara dalam jurnalisme cetak selalu berupa dialog antara si jurnalis dengan seseorang yang punya sesuatu untuk diucapkan atau dipikirkan tentang sebuah peristiwa. Reportase adalah rekonstruksi njlimet dan setia dari sebuah peristiwa.”
 
Tape recorder itu keji sebab orang masuk perangkap mempercayai bahwa tape bisa berpikir, maka kita langsung mencabut sambungan otak kita begitu kita tancapkan kabelnya. Tape recorder itu beo digital, ia punya kuping tapi tak punya hati. Ia tidak menangkap detail sehingga menjadi tugas kita untuk mendengar melampaui kata-kata, menangkap apa yang tidak diucapkan lantas menuliskan cerita lengkapnya.” Ia menunduk melihat tumpukan kertas di depannya. Artikel-artikel kami! “Menulis adalah aksi menghipnotis,” ujarnya. “Bila berhasil si penulis telah menghipnotis pembaca. Manakala ada ganjalan pembaca pun terjaga, keluar dari hipnotis dan berhenti membaca. Bila prosanya pincang pembaca pun meninggalkanmu. Orang harus membuat pembaca terhipnotis dengan merawat setiap detail, setiap kata. Ini aksi berkelanjutan di mana kalian meracuni pembaca dengan kredibilitas dan dengan irama.” Ia berhenti, lantas mengetuk-ngetuk kertas itu. “Kini aku harus bilang bahwa kubaca semua artikel yang kalian kirim dan aku terjaga penuh sepanjang waktu.”
 
Aku terhenyak, beberapa cekikikan, dan yang lain bergerak-gerak resah di tempat duduknya.

____
1) El general en su laberinto, diterjemahkan ke bahasa Indonesia dari edisi Inggris oleh Anton Kurnia menjadi Sang Jenderal dalam Labirinnya (Jalasutra, 2004).
2) Relato de un náufrago. Diterjemahkan dari edisi Inggris The Story of a Shipwrecked Sailor ke bahasa Indonesia oleh Rizadini menjadi Caldas (LKiS, 2002).

2 komentar:

  1. menulis adalah aksi menghipnotis
    waduh..nyerah deh aku.

    BalasHapus
  2. Pengalaman yang mengesankan....Saya ingat Gabriel Garcia Marquez pernah bilang: " Sebuah cerita adalah persepsi penulis tentang dunia dan ditanggapi oleh pembaca dengan memberi persepsi terhadapnya, dengan demikian terjadilah interaksi antara penulis dan pembaca terhapap realitas. Cerita itu membentuk persepsi kita akan dunia, realitas adalah sebuah refleksi."
    Saya mencoba menulis blog tentang dia, semoga anda suka: http://stenote-berkata.blogspot.com/2017/09/wawancara-dengan-gabriel.html

    BalasHapus