Selasa, 02 November 2010

Wawasan (dan Gerundelan) Edith Grossman

Why Translation Matters
Edith Grossman
Yale University Press, 2010



“Penulis menulis dengan bahasa nasionalnya masing-masing. Sastra dunia yang sesungguhnya diciptakan oleh penerjemah.” — José Saramago

Saya bisa menulis panjang tentang buku yang sendirinya tak seberapa panjang ini, karena temanya adalah pergulatan saya sehari-hari, sementara penulisnya adalah salah satu penerjemah sastra berbahasa Spanyol ke bahasa Inggris favorit saya. Edith Grossman adalah penerjemah kawakan yang telah menggarap García Márquez, Vargas Llosa, Mayra Montero, dll., namun pencapaian terbesarnya adalah saat dia ditugaskan menerjemahkan ulang/memutakhirkan terjemahan Don Quixote. Hasil terjemahannya diakui sebagai masterpiece tersendiri. Saat mendengar Grossman menerima proyek penerjemahan Don Quixote, García Márquez –yang bukunya juga sedang diterjemahkan Grossman saat itu—sampai meneleponnya dan bergurau, “Jadi, kau menduakanku dengan Cervantes nih?”

Yang saya sukai dari para penerjemah sastra Amerika Latin ke Inggris adalah karena mereka begitu menguasai/mencintai khazanah sastra yang mereka garap. Mereka juga menghasilkan buku-buku kajian sastra yang tidak main-main di bidangnya itu. Grossman sendiri misalnya, pernah menulis kajian yang diambil dari riset doktoralnya The Antipoetry of Nicanor Parra. Selain Grossman, ada pula, misalnya:

- Gregory Rabassa, raksasanya para penerjemah, yang membuat terjemahan Inggris One Hundred Years of Solitude Gabriel García Márquez tampak benar-benar seperti karya baru berbahasa Inggris. Dialah penerjemah pertama yang menerima National Book Award AS atas terjemahan Hopsctch karya Julio Cortázar. Rabassa menuliskan pengalamannya menerjemahkan dalam If This be Treason: Translation and Its Discontents.
- Alfred MacAdam (penerjemah Fuentes, Vargas Llosa) menulis Textual Confrontations: Comparative Readings in Latin American Literature.
- Suzanne Jill Levine (penerjemah Borges, Cabrera Infante, Puig dll) baru saja menerbitkan The Subversive Scribe: Translating Latin American Fiction.
- Margaret Sayers Peden (penerjemah hampir seluruh novel Isabel Allende, Arturo Perez-Réverte dll) mengeditori kajian tentang cerpen-cerpen Amerika Latin di The Latin American Short Story: A Critical History.
- Dari generasi terbaru penerjemah sastra Amerika Latin, ada Natasha Wimmer (kelahiran 1973; penerjemah Vargas Llosa, Laura Restrepo, Roberto Bolaño) yang memang belum membuat buku kajian sastra tersendiri, namun sudah membuat buku populer pelajaran bahasa Spanyol. Wimmer mendapat bantuan dana AS$20 ribu (Rp 190 jutaan) dari National Endowment of Arts untuk merampungkan terjemahan mahakarya Bolaño, 2666, yang tebalnya amit-amit itu. 

Banyak penerjemah lain yang saya kagumi. Margaret Jull Costa dan Giovanni Pontiero misalnya, yang sama-sama menginggriskan Saramago dari bahasa Portugis. Djokolelono, yang terjemahannya atas Dataran Tortilla Steinbeck tetap tiada taranya, bahkan saya merasa lebih nikmat baca terjemahan Indonesia ini ketimbang Inggrisnya. Ida Sundari Husen telah menghadirkan mahakarya Amin Maalouf, Le Rocher De Tanios, ke dalam bahasa Indonesia dengan sangat memikat. Untuk puisi Jerman ada duet Berthold Damshäuer dan Agus R. Sarjono yang telah menghadirkan terjemahan Bertolt Brecht, Hans Magnus Enzensberger, Rainer Maria Rilke, dan Nietzsche.

Suzanne Jill-Levine, Jonathan Dunne, Margaret Jull Costa, Ronald Christ
Edith Grossman, Gregory Rabassa, Natasha Wimmer, Helen R. Lane 

Buku Grossman ini bukan buku teori penerjemahan, seperti misalnya buku Mona Baker yang amat terkenal itu. Grossman menyatakan bahwa dirinya “sejarawan yang bodoh dan teoretikus yang lebih parah lagi.” (hlm. 49) Dalam satu sisi buku ini memang berusaha menerangkan filosofikasi atau katakanlah raison d’etre kerja penerjemahan, misalnya: “Terjemahan memungkinkan kita mengeksplorasi melalui pustaka, pemikiran dan perasaan orang-orang dari kelompok masyarakat lain atau zaman yang berbeda.” (hlm. 14). Secara khusus Grossman menyoroti bagaimana dalam hal sastra, penerjemahan bisa bertimbal balik menyuburkan saling pengaruh dan kreativitas penulisan. García Márquez atau Vargas Llosa “takkan ada” bila mereka tidak membaca penulis-penulis berbahasa Inggris seperti William Faulkner dalam terjemahan Spanyol. Dan segenerasi sesudahnya, sastrawan-sastrawati besar berbahasa Inggris macam Salman Rushdie, Michael Chabon, dan Toni Morrison “takkan ada” bila mereka tidak membaca García Márquez atau Vargas Llosa dalam terjemahan Inggris.

Namun dalam buku ini Grossman lebih banyak memakai sudut pandang praktisi dan seorang penikmat sastra, alih-alih melihatnya dari sudut pandang teori-teori linguistik akademis. Maka dari itu Grossman dengan penuh tekad dan keyakinan menyatakan bahwa penerjemah tak ubahnya penulis: dia bukan mesin yang mengalihbahasakan teks per teks, namun mengalihkan konteks. Dan di sinilah rasa atau kepekaan berbahasa (sebagai penulis atau seniman) berperan besar, selain juga pengetahuan sosial-politik-budaya tentang karya yang ia garap, serta tentunya pengetahuan mendalam tentang bahasa kedua (atau bahasa sasaran).

Poin tentang bahasa sasaran ini perlu digarisbawahi sebab banyak orang sepertinya mengira kalo sudah cas-cis-cus berbahasa asing dengan sendirinya bisa jadi penerjemah, padahal bahasa Indonesianya belepotan. Karena itulah penerjemah-penerjemah Indonesia terbaik yang pernah saya kenal langsung, seperti Bu Apsanti Djoko Suyatno atau Mas Hendarto Setiadi, justru berbahasa Indonesia dengan sangat baik dan sama sekali tidak ‘sok nginggris’ atau ‘sok merancis’.

Gregory Rabassa, misalnya, pernah dikritik seorang wartawan Spanyol atas terjemahan Inggris One Hundred Years of Solitude. Si wartawan bertanya apakah Rabassa cukup mengenal bahasa Spanyol saat menerjemahkan karya besar itu. Rabassa membalas bahwa pertanyaan itu salah. Pertanyaan seharusnya adalah: apakah Rabassa cukup mengenal bahasa Inggris saat menerjemahkan karya besar itu.

Kalau dibaca dan dibandingkan verbatim atau kata per kata, “karya” Rabassa itu memang berbeda dengan “karya” García Márquez, tapi García Márquez sendiri berkomentar bahwa andai ia menulis Cien años de soledad dalam bahasa Inggris, ya hasil seperti terjemahan Rabassa itulah yang dia inginkan. Artinya: Rabassa menerjemahkan dengan tepat keinginan si penulis meskipun secara kata per kata hasilnya beda.

Itulah yang ditegaskan berulang-ulang oleh Grossman di buku ini: “kesetiaan cuma sedikit hubungannya dengan makna harafiah.” (hlm. 69) Setia pada makna harafiah kata per kata justru akan bisa memelencengkan maksud si penulis, dan karenanya: tidak setia. Saat ditanya oleh mahasiswanya siapa sebenarnya yang kita baca saat membacaOne Hundred Years of Solitude, Rabassa atau García Márquez, Grossman tanpa ragu menjawab: “Rabassa. Dan García Márquez tentunya.”

Itu sebabnya penting menurut saya untuk sebisa mungkin menerjemahkan suatu karya dari bahasa aslinya, bukan translation of translation, seperti yang pernah saya ulas cukup panjang untuk terjemahan 100 soneta Pablo Neruda ini. Puisi Neruda jadi lebih surealis di tangan Stephen Tapscott. Tapi itulah strategi yang diperlukan Tapscott karena ketidakmampuan bahasa Inggris menjiplak rima bahasa Spanyol. Dan kita pun disodori terjemahan Indonesia “Neruda ala Tapscott” tanpa pernah menyadari bahwa bahasa Indonesia justru memiliki sesuatu yang tak dimiliki oleh bahasa Inggris dalam mengalihbahasakan puisi Spanyol.

Bukan hanya soal ritme. Sebagai sesama penghuni wilayah tropis, Indonesia dan negara-negara Amerika Latin juga memiliki banyak kemiripan dalam hal botani, bumbu masakan, dll yang tidak terdapat dalam kosakata bahasa Inggris. Mario Vargas Llosa misalnya, beberapa kali menggambarkan tokoh novelnya meminum jus lúcuma, yang ketika saya baca edisi Inggrisnya, tidak diterjemahkan karena mereka tidak punya kosakata untuk lúcuma, yang padanan Indonesianya sebenarnya adalah “buah mentega”.

Saya selalu berapi-api kalau bicara tentang terjemahan, tapi yang membuat saya tersenyum geli ketika membaca buku ini adalah bahwa gerundelan Grossman tentang profesi dan kerja penerjemah ini ternyata lebih berapi-api lagi dan pada beberapa bagian sudah sampai taraf “ngomel ala emak-emak”. Beberapa paragaf dipakainya untuk menggerundel tentang betapa kurang dihargainya profesi penerjemah sastra, baik oleh penerbit, akademisi maupun pengulas.

Tentang penerbit:
“Statistik yang menyedihkan menunjukkan bahwa di AS dan Inggris, hanya 2-3 persen dari buku yang diterbitkan tiap tahun adalah terjemahan sastra [padahal] di negara-negara seperti Perancis, Jerman, atau Italia jumlahnya 25-40 persen […] Mayoritas penerbit AS dan Inggris ogah dengan terjemahan [dan] penjelasan kukuh yang paling sering saya dengar tentang fenomena ini adalah pembaca bahasa Inggris menolak karya terjemahan. Ini sama sekali tidak masuk akal buat saya. Industri penerbitan sepertinya terjebak dalam keruwetan telur-dan-ayam: apakah sedikitnya pembaca karya terjemahan menjadi penyebab begitu sedikitnya sastra terjemahan diterbitkan di khalayak pembaca berbahasa Inggris, atau jumlah pembaca itu sedikit karena penerbit menyediakan begitu sedikit karya sastra terjemahan?” (hlm. 27-29)

Tentang dunia akademis:
“Di banyak universitas, Jurusan Bahasa Inggris kerap memonopoli pengajaran apa yang mereka sebut sastra dunia atau humaniora... Buku-buku terjemahan mereka masukkan dalam bahan bacaan pelajaran, namun dosen-dosen sastra di jurusan bahasa asing, dosen-dosen dengan kepakaran riil tentang karya-karya “sastra dunia” yang dibahas itu, justru dipinggirkan. Saya tak pernah mampu mendapati logika atau koherensi mengenai hal ini. Mungkinkah ada orang di komite penyusun kurikulum yang tidak bisa membedakan antara karya berbahasa Inggris dengan karya terjemahan?”

Tentang peresensi:
“Inilah asal usul ungkapan favorit ‘diterjemahkan dengan apik’ (ably translated), tapi saya bertanya-tanya bagaimana si pengulas bisa tahu itu. Pada umumnya bisa terbaca dari ulasan yang mereka tulis bahwa sebagian besar dari mereka tidak bisa membaca edisi aslinya, dan kadang saya meragukan apakah mereka benar-benar membaca terjemahannya. Kedangkalan akut ini membuat saya bertanya: ‘apik’ kalau dibandingkan dengan apa? Dengan aksi sulap yang nyaris mendekati mujizat, mereka mengulas gaya dan bahasa buku itu [tanpa menyinggung kerja penerjemah] seakan-akan sedang membahas karya penulis aslinya, seakan-akan kerja si penerjemah –karya yang sesungguhnya sedang mereka resensi—bukanlah penghubung yang pertama-tama memungkinkan mereka membaca buku itu. Ajaib kan?” (hlm. 30-31)

Nah, kalo sekelas Mbah Edith saja masih ngomel-ngomel apalagi awak-awak ini kan?


Gambar anak saya menangkap keseharian kerja ayahnya:
dengan komputer Mac, kamus Milagros Guindel, dan omelan rutin tentang
cuaca yang panas sekali.

2 komentar:

  1. penerjemahan memang butuh dedikasi tinggi. jadi salut juga buatmu Ron! kau kan penerjemah yang mumpuni soal amlat.

    BalasHapus
  2. Tulisan yg bergizi. Sy sedang mengawali 'karir' di bidang ini. Salam.

    BalasHapus