Minggu, 15 Juli 2012

Gabriel García Márquez dan Fidel Castro: Awal Sebuah Persahabatan

Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus dari Bab 1 “Dioses en edad de jugar” buku Gabo y Fidel: El paisaje de una amistad karya Ángel Esteban dan Stéphanie Panichelli (Madrid: Espasa, 2004).


“Gabo dan saya sama-sama berada di Bogota pada hari yang menyedihkan itu, tanggal 9 April 1948, saat Gaitán dibunuh. Usia kami sama, dua puluh satu tahun; kami menjadi saksi peristiwa yang sama, kami juga mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan yang sama: Hukum. Tapi kesamaan itu toh cuma ada di pikiran saja. Nyatanya, kami berdua sama sekali tak tahu apa-apa soal satu sama lain. Tak ada yang saling kenal di antara kami, kami bahkan tidak mengenal diri kami sendiri.”

“Hampir setengah abad sesudahnya, di malam sebelum perjalanan menuju Birán di ujung timur Kuba, tempat saya dilahirkan pada pagi hari 13 Agustus 1926, Gabo dan saya sedang mengobrol. Pertemuan kami punya suasana acara keluarga yang hangat, di mana kenangan-kenangan lama saling dibagi dan kisah-kisah penuh warna diceritakan kembali, dalam ramah-tamah bersama beberapa kawan Gabo dan kamerad-kamerad Revolusi lainnya.”[1]

Demikianlah awal dari tulisan paling sastrawi yang pernah dibuat oleh Fidel Castro, dua bulan menjelang usianya ke-78 tahun. Tulisan itu adalah artikel pendek tentang sahabat terbaiknya dan mungkin satu-satunya, Gabriel García Márquez. Dua di antara tokoh-tokoh terpenting dalam sejarah Amerika Latin abad ke-20 berada di kota yang sama pada salah satu hari paling buruk yang pernah dialami ibukota Kolombia itu sejak didirikan pada 1538. Langkah mereka mungkin bertemu, tak sengaja berpapasan di jalan di tengah-tengah kekacauan, tidak tahu akan ke mana atau bahkan mengapa mereka berlarian. Barangkali mata mereka bertatapan sejenak di sudut jalan, atau barangkali mereka tersandung oleh perempuan yang sama yang tengah berjuang untuk berdiri sesudah ditubruk oleh seorang bocah yang ngebut dengan sepeda. Putra si operator telegraf dari Aracataca berusaha kembali ke kamar kosnya paling tidak untuk menyelamatkan naskah-naskah cerpen yang telah ia karang seminggu sebelumnya. Si mahasiswa dari Kuba menganggap sudah terlambat sekarang untuk bertemu lagi dengan Jorge Gaitán, cahaya harapan Kolombia, tokoh politik zaman itu yang memberi perhatian sungguh-sungguh pada persoalan-persoalan yang dihadapi mahasiswa Amerika Latin; yang telah menemui perwakilan mahasiswa untuk mengemban satu sikap dalam menghadapi relasi yang senantiasa sarat konflik antara Amerika “Utara” Serikat dengan Amerika Selatan “yang-Tak-Pernah-Bisa-Berserikat.”

* * *

Gabo lahir di Aracataca, kota kecil di utara Kolombia, pada 6 Maret 1927, dengan tali pusar melilit leher, sementara ibunya mengalami pendarahan hebat. Doña Luisa Márquez bukan hanya selamat dari persalinan ini, namun juga akan menghadirkan sepuluh anak lainnya ke dunia. Saat anak berikutnya lahir, Gabito dikirim tinggal bersama kakek-neneknya. Pengalaman ini terbukti sangat menentukan dan bakal membentuk wataknya, saat calon penulis besar ini menumbuhkan minat menggebu-gebu pada cerita-cerita soal dedengkot-dedengkot politik dan jagoan-jagoan lokal, menghabiskan waktu berjam-jam bersama kakeknya, mendengar kisah-kisah menakjubkan tentang orang-orang yang bertempur dalam perang saudara di awal abad. Neneknya, yang menghabiskan kesehariannya bersenandung seorang diri dalam kondisi mirip mengigau, selalu menjadi sasaran rentetan pertanyaan cucunya, yang tak jemu-jemu menyimak kisah-kisah peperangan:

“Nek, siapa sih Mambru, dan dalam perang apa ia terlibat?”
Karena sama sekali tak punya bayangan siapa yang ditanya itu, namun punya imajinasi kelewat berlimpah, sang nenek pun dengan kalem menjawab: “Ia orang yang bertempur bersama kakekmu dalam Perang 1.000 Hari.”
Kita sekarang tahu bahwa Mambru yang sering disebut-sebut dalam lagu lama yang populer itu (lagu yang begitu gemar dinyanyikan kakek Gabo) tak lain adalah Adipati Marlborough, namun ketika García Márquez akhirnya memasukkannya sebagai karakter dalam novel dan cerpen-cerpennya, ia lebih menyukai versi neneknya ketimbang fakta aktualnya. Itu sebabnya Marlborough tampil menyamar sebagai seekor harimau, kalah dalam semua perang saudara di Kolombia, di samping Kolonel Aureliano Buendia.[2]

Tatkala Gabo berusia tujuh tahun, Nicolas Márquez membawa cucunya ke San Pedro Alejandrino No. 5, di Santa Marta, tempat wafatnya Simón Bolívar, sang pembebas benua Amerika. Sang kakek sudah memberitahu cucunya tentang tokoh terkenal ini berulang kali. Saat berumur enam tahun, Gabito melihat gambar matinya Bolívar di sebuah kalender milik kakeknya. Jadi, sekalipun masih ingusan, minat bocah ini pada Bolívar dan para pemimpin Amerika lainnya telah tumbuh, tokoh-tokoh yang nanti akan tampil dalam novel-novelnya, memupuk minat khususnya pada kekuasaan. Ia belajar baca-tulis di sekolah Montessori saat berusia delapan tahun, dan gurunya, Rosa Elena Fergusson, akan menjadi dewi inspirasi Gabo yang pertama, karena ia menganggap syair-syair yang dibacakan gurunya di depan kelas, yang “selamanya akan tertanam dalam otakku,” adalah penubuhan langsung dari kecantikannya yang memukau. Pada umur sembilan tahun, saat mengaduk-aduk salah satu peti kakeknya, ia temukan buku tua buluk dengan halaman-halaman yang sudah menguning. Kala itu, ia tidak tahu buku itu berjudul Seribu Satu Malam, tapi ia mulai membacanya dan merasa terubah. Ia berkata:

Kubuka dan kubaca bahwa ada seseorang yang membuka botol dan dari dalamnya terbang keluar sesosok jin dalam kepulan asap, dan aku berkata, “Wah, ini luar biasa!” Hal ini lebih memukauku ketimbang apapun lainnya yang terjadi dalam hidupku sampai saat itu: lebih dari bermain, lebih dari melukis, lebih dari makan, lebih dari apa saja, dan aku tidak mengangkat muka dari buku lagi.[3]

Selama beberapa tahun ke depan, karena harus menghidupi kian banyak anak yang tumbuh besar, keluarga García Márquez kerap berpindah-pindah: dari Aracataca, ke Barranquilla, ke Sucre. Pada 1940, García Márquez kembali ke Barranquilla untuk masuk sekolah Yesuit San Jose, tempat ia menulis puisi-puisi dan cerpen-cerpen pertamanya untuk majalah Juventud.[4] Tiga tahun kemudian, persis sebelum ulang tahunnya ke-16, ia harus pergi dari rumah dan mencari kerja untuk membiayai pendidikannya, karena orang tuanya, yang saat itu sudah punya delapan anak, tidak mampu memberi makan semuanya sambil sekaligus harus membiayai sekolah. Ia pergi ke Bogotá dan merasa putus asa berada di kota besar, dingin, nun jauh dari rumah itu, di mana orang tak saling mengenal dan adat setempatnya sangat berbeda. Ia menerima beasiswa dan mulai belajar di sekolah khusus anak laki-laki di Zipaquira, di mana virus yang menyergapnya saat pertama kali membuka Seribu Satu Malam dengan cepat berbiak dalam dirinya, sampai virus itu pun menjadi kronis dan tak terhentikan. Ia membaca dan menulis dengan tekun, mempelajari semua karya klasik kesusastraan Spanyol. Ia reguk pengetahuan bijak guru-gurunya dan hidup hampir seperti di biara, menghabiskan waktu berjam-jam di depan buku... atau menatap lembaran kertas kosong, mencoba menggubah syair. Ia terjun total dalam kegiatan sastra di sekolahnya, dan pada 1944 menulis cerpen pertamanya. Tiga tahun kemudian, Gabo masuk sekolah hukum di Bogotá, kota dengan 700.000 penduduk, berada di ketinggian hampir 2.000 meter di atas permukaan laut, yang dalam banyak hal serupa dengan Spanyol, dengan kehidupan budaya yang semarak yang berpusat di kafe-kafe tengah kota. Sang calon peraih Hadiah Nobel ini lebih banyak menghabiskan waktu di kafe ketimbang di kelas, dan ia menjumpai penulis-penulis terpenting zaman itu di sana. Ia juga menemukan beberapa permata sastra: Metamorfosis-nya Kafka, yang kian memperparah virus sastra itu dan mendorongnya menulis cerita-ceritanya sendiri seperti sedang kalap; juga karya-karya klasik seperti Garcilaso, Quevedo, Góngora, Lope de Vega, San Juan de la Cruz; serta anak-anak zamannya sendiri seperti Generasi 1927 dan Neruda. Sebentar sesudahnya, minatnya terfokus nyaris sepenuhnya pada novel, sampai ia percaya bahwa panggilan sastranya begitu kuat sampai ia harus keluar dari sekolah hukum sepenuhnya ...

* * *

Fidel Castro besar dalam keluarga buruh pedesaan. Di kota kecil Birán, dekat Santiago de Cuba di sisi paling tenggara negara pulau itu, teman main masa kecilnya adalah para buruh perkebunan tebu di Mañacas. Dikitari oleh alam liar dan fauna, Castro menjelajah hutan dengan berkuda, berenang di sungai, dan saat berusia 5 tahun ia didaftarkan masuk ke sekolah desa setempat. Pada usia enam setengah tahun ia dibawa ke ibukota provinsi, Santiago de Cuba, untuk melanjutnya belajarnya di sekolah asrama paroki. Pandangan revolusionernya bisa dilacak balik ke masa kanak-kanaknya itu; karena saat kembali ke perkebunan, ia mengorganisir pemogokan buruh melawan ayahnya, yang ia tuduh melakukan eksploitasi! Untuk tahun-tahun terakhirnya di sekolah menengah, karena nilainya yang tinggi, orang tuanya memasukkannya ke sekolah Yesuit Belen di Havana, sekolah terbaik di negeri itu, tempat aristokrat Kuba menyekolahkan anak-anak mereka. Afiliasi-afiliasi politik konservatif di masa depan kerap dikukuhkan di sini pada saat masih bersekolah.

Pada Oktober 1945, Castro masuk Universitas Havana untuk belajar Ilmu Hukum. Hidupnya berubah. Ia berasal dari lingkungan yang permai dan tenteram, di mana satu-satunya hal terpenting adalah bisa bersekolah dan menjadi umat Kristen yang baik, dan kini ia mendapati diri berada di suatu tempat di mana pergulatan untuk bertahan hidup menjadi hal yang paling penting. Kampus terbagi menjadi dua kelompok politik yang saling bersaing, yang dampaknya meluas ke kota itu secara keseluruhan melalui aksi-aksi kekerasan dan pengaruh finansial: Gerakan Sosialis Revolusioner (Movimiento Socialista Revolucionario atau MSR), dipimpin oleh eks-komunis Rolando Masferrer, dengan Perserikatan Revolusioner Insureksionis (Unión Insurreccional Revolucionaria atau UIR), dipimpin oleh eks-anarkis Emilio Tro. Fidel dengan lekas tercengkeram oleh ambisi politik, dan tujuannya adalah memimpin Federasi Mahasiswa (Federación Estudiantíl Universitaria atau FEU) –artinya, badan yang mewakili seluruh gerakan mahasiswa—sebuah kedudukan yang sangat diidam-idamkan bagi anggota kedua faksi yang saling bersaing. Ia mencoba menarik perhatian pucuk pimpinan MSR dan UIR, karena sadar bahwa ia takkan bisa mencapai tujuannya tanpa dukungan kelompok berpengaruh; namun sampai tahun ketiga kuliahnya, ia tak kunjung beranjak lebih dari posisi Wakil Presiden Dewan Mahasiswa Fakultas Hukum itu saja. Untuk pemilihan mendatang, ia memutuskan maju sebagai Presiden FEU, tak peduli dengan afiliasinya pada pihak yang manapun. Dengan cermat ia garap basisnya. Ia membaca banyak karya penulis sekaligus revolusioner besar Kuba José Martí dan mengambil darinya sebuah filosofi yang sangat persuasif dan bertenaga, ditambah dengan kumpulan fakta panjang lebar untuk menopang pidato-pidatonya yang ia susun dengan apik. Ia juga mulai beraksi di luar lingkungan kampus, mengorganisir demo menentang pemerintahan Ramón Grau San Martin. “Koran-koran pun membahas soal dia,” catat penulis biografinya, Volker Skierka, “kadang dengan istilah muluk-muluk. Pembicara berbakat yang memukau, muda, tinggi dan atletis, berpenampilan rupawan dengan jas dan dasi, rambut hitamnya disisir licin, dengan profil klasik Yunani, baru berusia 21 tahun namun sosoknya amat mengesankan, tipe dambaan ibu-ibu yang punya anak gadis.” [5]

Namun ia bukan cuma bicara. Sesudah bertemu presiden, Castro mengusulkan kepada sesama aktivis untuk beramai-ramai meringkus presiden dan melemparkannya dari balkon buat membunuhnya, yang akan melambungkan revolusi mahasiswa dengan cara yang sangat dramatis. Sekitaran waktu itu, Castro memang dituduh terlibat dalam tiga percobaan pembunuhan: pertama pada Desember 1946, ketika seorang anggota UIR ditembak di bagian dada; kedua pada Februari 1948, ketika Manolo Castro, Direktur Nasional Bidang Olahraga, ditembak dan dibunuh di luar gedung bioskop; dan yang ketiga sebentar sesudahnya: seorang opsir polisi, Oscar Fernandez, terluka fatal oleh tembakan di luar rumahnya; sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia mengidentifikasi si pemimpin mahasiswa itu sebagai penarik pelatuknya.[6]

Minat Castro pada politik Amerika Latin pun bertambah intens. Ia berpihak pada gerakan pembebasan Puerto Rico; ia berangkat ke Republik Dominika dalam upaya gagal untuk melengserkan diktator Rafael Trujillo; dan ia ekspresikan solidaritas dengan gerakan-gerakan mahasiswa di Argentina,Venezuela, Kolombia, dan Panama, yang tengah berjuang untuk mengakhiri kolonialisme dalam negeri mereka dan menghentikan infiltrasi imperialisme AS. Demi tujuan tersebut, ia organisir kongres dewan-dewan mahasiswa se-Amerika Latin pada awal 1948, untuk diselenggarakan pada bulan April tahun itu juga di ibukota Kolombia, bertepatan dengan Pertemuan Tinggi Menteri Luar Negeri Benua Amerika ke-9, yang nantinya bakal memutuskan pembentukan Organisasi Negara-negara Benua Amerika (OAS), dan di mana Washington bermaksud menggulung “ancaman komunis” di bawah pantauan ketat Jenderal Marshall.

* * *

Main-main berakhir. Jalan hidup dua dewa kecil kita bertemu di Bogotá pada hari berdarah 9 April 1948. Yang nantinya dikenal sebagai kerusuhan “Bogotazo” akan memakan 3.500 nyawa pada hari-hari berikutnya dan lebih dari 300.000 lagi sepanjang pertempuran lanjutan di tahun-tahun berikutnya.[7] Pada 7 April, Castro bertemu dengan Jorge Eliécer Gaitán, pemimpin oposisi dari kubu liberal di Kolombia. Sekalipun masih muda, Gaitán sangat populer dan berhasil mengkonsolidasi partai ketika negeri itu sangat membutuhkan seorang negarawan untuk mengakhiri iklim oligarki yang penuh kekerasan, dan tak ada yang menyangsikan bahwa ia akan merebut tampuk kepresidenan dalam pemilu mendatang. Dalam pertemuannya dengan perwakilan mahasiswa Kuba di kantornya di Jalan Ketujuh, keduanya saling suka. Gaitán berjanji membantu Castro dan kawan-kawannya memperoleh lokasi yang terjamin untuk menggelar konferensi anti-imperialisme mereka, dan menutup acara tersebut dengan demonstrasi massa besar-besaran. Mereka berencana bertemu dua hari lagi, pukul dua siang untuk memfinalisasi detail-detailnya. Sebentar sebelum pertemuan kedua yang dijanjikan itu, saat Fidel dan kawan-kawannya sedang keluyuran di wilayah sekitar sambil menunggu waktu, seorang jago tembak yang kurang waras, Juan Roa Sierra, menembak si kandidat presiden dari jarak dekat. Saat Gaitán melangkah keluar dari kantornya di Jalan Ketujuh 14-55, antara Jalan Jimenez de Quesada dan Jalan Keempatbelas, ia ditembak tiga kali: di otak, paru-paru, dan liver. Tiga butir peluru menghabisi harapan terbesar Kolombia, menandai awal dari salah satu era terkelam sejarah negeri itu, dan menyulut perang saudara yang berlangsung berkepanjangan selama sekian dasawarsa.

Persis pada waktu itu, di rumah indekos mahasiswa-mahasiswa gembel di Jalan Kedelapan, dekat sekali dengan TKP, mahasiswa hukum tahun kedua Gabriel García Márquez baru saja hendak makan siang. Arlojinya terbaca pukul satu lebih lima. Ia langsung tahu apa yang terjadi. Gabo dan kawan-kawannya lari ke tempat Gaitán roboh bersimbah darah di trotoar. Saat mereka tiba di sana, Gaitan sudah dibawa ke Klinik Pusat, tempatnya meninggal dalam hitungan menit. Bingung oleh suasana yang makin kacau, para mahasiswa itu berdiam sebentar di sana, mencoba memahami kerusuhan di jalan-jalan yang meledak seputar mereka, juga suara pekik dan teriakan yang makin kencang. Kota membara. Mereka putuskan balik ke rumah kos mereka. Saat berbelok di pojokan dan menyeberangi jalan, mereka dapati hal yang terburuk: rumah mereka ikut dibakar. Mereka tak bisa masuk menyelamatkan barang-barang pribadi. Pakaian, perabot, buku-buku, segalanya musnah jadi abu. Gabo mencoba lari menerobos api, tapi teman-temannya menahannya. Rasa putus asanya bersumber dari kehilangan harta yang paling disayanginya: manuskrip cerpen-cerpen yang sedang ia tulis, terutama “El cuento del fauno en el tranvía,” dan cerpen-cerpen yang sudah terbit di El Espectador.[8] Luis Villar Borda, seorang teman dari pergaulan sastranya, berpapasan dengan Gabo sekitar pukul 4 sore itu di persimpangan antara Jalan Jimenez de Quesada dengan Jalan Kedelapan. Dasso Saldivar menggambarkan pertemuan itu:

Mendapati temannya dalam kondisi yang sedemikian gundah, nyaris menangis, cukup membuat Villar Borda terpana, karena selama ini, melihatnya di kampus dan ruang kuliah, Gabriel tak pernah menunjukkan hasrat apapun untuk segala yang berbau politik, apalagi politik nasional bipartisan ... Jadi, mendapatinya begitu tak lumrah seperti ini, ia berkata kebingungan,
“Gabriel, aku tak tahu kau Gaitánis tulen!”
Lantas Gabriel pun menjawab dengan suara serak, “Apa maksudmu? Itu cerpen-cerpenku terbakar!”[9]

Gabo melakukan satu upaya nekat terakhir: menyelamatkan mesin tik yang harusnya masih ada di toko gadai. Belum lama lalu ia meninggalkannya di pegadaian sebagai jaminan uang kontan untuk melunasi tagihan dan utang. Melihat bagaimana Jalan Ketujuh dan seberangnya dilalap api, adiknya Luis Enrique dan dirinya punya firasat yang sama. Gabo menulis dalam memoarnya:

Massa yang marah, bersenjata parang dan segala jenis perkakas tajam yang dijarah dari toko bahan bangunan, menghancurkan toko-toko di Jalan Ketujuh serta seberangnya dan membakarnya, dengan bantuan polisi berkuda. Sekali pandang saja sudah cukup membuat kami yakin bahwa situasinya sudah lepas kendali. Adikku membaca pikiranku saat ia berteriak:
“Sial, mesin tiknya!”
Kami lari ke toko gadai yang masih utuh, dengan pagar besi terkunci rapat, tapi mesin ketik itu sudah tak berada di tempat semestinya. Kami tak khawatir, dengan asumsi kami bisa memperolehnya kembali setelah semua ini berakhir, tanpa sadar bahwa bencana mengerikan ini takkan pernah berakhir.[10]

Fidel Castro, Alfredo Guevara, dan delegasi mahasiswa lainnya yang telah meninggalkan hotel untuk bertemu dengan si pemimpin liberal melihat orang-orang berlari-larian sambil berseru “Gaitán dibunuh!” Tiga puluh tiga tahun sesudahnya, dalam wawancara dengan Arturo Alape, Fidel mengisahkan hal-hal yang paling menyentaknya hari itu: gerombolan massa yang marah dan tak mau tahu berlari-larian, melakukan tindakan kekerasan sesuka-sukanya. Mereka jebol kaca-kaca jendela, menjarah toko-toko, menghancurkan properti negara dan swasta. Massa mencapai alun-alun di depan Gedung Parlemen; ratusan orang berkerumun di depan pintu, sementara seseorang mencoba mengajak mereka bicara dari balkon. Polisi tak bisa menahan massa, yang mendobrak masuk ke gedung pemerintah dan menghancurkan apa saja sepanjang jalan, melemparkan meja dan kursi keluar jendela. Secara naluri Fidel langsung bergabung dengan massa di jalanan; ia menerobos masuk ke markas polisi divisi ketiga, kabur membawa pistol, empat belas butir peluru, sepatu bot, dan topi kapten polisi sebelum maju berperang.[11] Namun akhirnya Castro sampai pada simpulan bahwa ini bukan revolusi, melainkan kerusuhan. Saat bergabung kembali dengan kawan-kawannya, ia pun tahu bahwa polisi sedang mencari-cari dirinya karena komunis-komunis Kubalah yang telah memprovokasi tewasnya Gaitán dan pergolakan.[12] Melihat situasinya, mereka memutuskan pergi ke kedutaan besar Kuba dan menginap di sana, untuk menghindari kesulitan lebih lanjut dalam kerusuhan yang kian kacau itu.

Beberapa tahun lalu, bersama teman dekatnya Gabriel García Márquez, sang pemimpin Kuba ini mengisahkan ulang lika-liku dramatis dari masa-masa menegangkan yang tak terlupakan itu. Dalam pelbagai kesempatan keduanya telah menyatakan bahwa persahabatan mereka bermula atas alasan-alasan literer. Takdir bertemu dengan sejarah pada 9 April 1948 itu: mesin ketik, sebuah piranti sederhana dari logam dan plastik yang bisa melambungkan orang ke surga melalui tulisan-tulisan penuh ilham, menjadi katalis persekutuan mereka—sekalipun bila tidak secara aktual terjadi, paling tidak secara magis, imajinatif, dan fantastis, sebagaimana realitas kerap berlangsung di Karibia. Fidel mengingat percakapan ini dengan Gabo:

Saat saya cuma bisa berdiri melihat, takjub, massa menyeret si pembunuh sepanjang jalan, membakari toko-toko, perkantoran, gedung bioskop, dan apartemen. Beberapa orang mengangkuti piano dan lemari pakaian beroda. Ada yang memecahkan kaca. Yang lain merusak tanda dan rambu-rambu. Yang paling vokal melampiaskan kegeraman mereka dengan berteriak-teriak dari pojok jalan, teras-teras, dan gedung-gedung yang berasap. Tapi ada seseorang yang sangat aneh, ia lampiaskan kemarahannya dengan menghajar sebuah mesin ketik, memukulinya, dan agar tak buang-buang tenaga percuma, ia melontarkannya ke udara, dan mesin tik itu pun hancur berkeping-keping saat menghantam kakilima.
Saat saya bicara, Gabo cuma menyimak, barangkali menegaskan kepastian ini dalam hati bahwa di Amerika Latin dan Karibia, penulis tak harus banyak mengarang-ngarang, karena realitas lebih menarik daripada apapun yang bisa Anda khayalkan, dan barangkali tantangannya adalah membuat realitas yang sukar dipercaya itu menjadi bisa dipercaya. Saat saya selesai bercerita, saya tahu Gabo juga ada di sana, dan kebetulan ini sangat mengesankan, barangkali kami lari di jalan yang sama dan menyaksikan peristiwa mengerikan yang sama, yang membuat saya cuma jadi salah satu tokoh saja dalam kerumunan yang tiba-tiba bergolak itu. Saya pun bertanya dengan rasa ingin tahu yang datar-datar saja:
“Dan apa yang kau perbuat selama Bogotazo?”
Dengan tenang, terbenam dalam imajinasinya yang provokatif dan menyala-nyala itu, ia menjawab pendek sambil tersenyum, penuh akal dengan pemakaian metafornya seperti biasa:
“Fidel, akulah orang dengan mesin tik itu.”[13]


---------------------
1.  Fidel Castro, “La novela de sus recuerdos,” Cambio.com, 7 Oktober 2002, hlm. 1 (http://66.220.28.28/calle22/portada/artículos/79/)
2.  Dasso Saldívar, García Márquez. El viaje a la semilla, Alfaguara, Madrid, 1997, hlm. 98.
3.  Ibid., hlm. 119-120.
4.  Ibid., hlm. 121.
5.  Volker Skierka, Fidel. La biografía definitiva del líder cubano, Martínez Roca, Barcelona, 2002, hlm. 46.
6.  Ibid., hlm. 47-48.
7.  Saldivar, op. cit., hlm. 195.
8.  Ibid., hlm. 193.
9.  Ibid.
10. Gabriel García Márquez, Vivir para contarla, Mondadori, Barcelona, 2002, hlm. 342.
11.  Arturo Alape, De los recuerdos de Fidel Castro: El Bogotazo y Hemingway, Editora Política, La Habana, 1984, hlm. 32-40.
12. Ibid., hlm. 60.
13. Castro, “La novela de sus recuerdos,” hlm. 1-2. Jelas, jawaban Gabo murni khayal, suatu cara untuk menunjukkan selera humornya. Adegan itu tidak tampil dalam memoarnya, juga tidak sejalan dengan evolusinya sebagai penulis.