Kamis, 30 Mei 2013

"Sinema," oleh Carlos Fuentes


Catatan: Diterjemahkan oleh Ronny Agustinus dari “Cine,” bab 7 dalam buku Carlos Fuentes, En esto creo (2002). Secara harafiah judul buku ini berarti “Inilah yang kupercayai”. Di sini, novelis terbesar Meksiko ini mendaftar dari A sampai Z hal-hal yang ia yakini secara politik dan estetik. Pada abjad “C”, ia menulis “Cine”. Fuentes memang dekat dengan dunia film dan banyak menulis skenario. Salah satunya, bersama Gabriel García Márquez, ia menggarap skenario Tiempo de morir  (1966) yang disutradarai oleh Arturo Ripstein. Beberapa novel Fuentes sendiri juga telah diangkat ke layar lebar. Istri pertama Fuentes (1959-1973) adalah aktris Rita Macedo. Ia juga menjalin hubungan asmara dengan aktris Jeanne Moreau and Jean Seberg. Eksperimen seksualnya dengan Seberg –pemeran perempuan dalam À bout de souffle-nya Godard—dituangkannya dalam novel Diana o la cazadora solitaria (1994).

 
Carlos Fuentes (kiri), Luis Buñuel (tengah), Julio Cortazar (kanan)

Dari semua bentuk seni abad ke-20, tak ada yang kebaruannya sedemikian mencerminkan zamannya selain sinema. Lukisan, arsitektur, patung, dan musik: semuanya diturunkan dari masa lalu, memberi penghargaan padanya, memperbaharuinya. Hanya film yang lahir dan besar bersama abad ke-20. Hutang-hutang estetik dan literernya memang banyak. Tapi kehadiran imaji sinematik itu sendiri, ciptaan yang diilhaminya dan mitologinya yang dijalinnya  barangkali memberikan pengaruh paling dalam pada identitas zaman kita.

Saya selalu berpikir bahwa beberapa penulis besar bisa saja lahir di zaman lain tanpa kehilangan kebesaran dan keabadiannya. Marcel Proust terlintas sebagai contoh utama. Ditempatkan pada abad ke-17 atau ke-18, novelis dari Combray ini bakal tak kurang pentingnya. Dan Laclos, dari abad ke-18, akan tetap menjadi penulis besar di abad ke-20. Di lain pihak, ada penulis-penulis yang tanpanya kita takkan bakal memahami “zaman kita”. Mereka sungguh tak terpisahkan dari zaman mereka hidup, universal, dan akan selalu dibaca, namun membawa-bawa markah zaman bagaikan cap yang tak terhapuskan. Dickens dan Balzac hanya bisa ada di abad ke-19. Dan Kafka penulis yang tak terceraikan dari abad ke-20. Kita takkan bisa memahami zaman kita tanpa Die Verwandlung, Der Process, Das Schloß, Amerika.

Film, karena kebaruannya itu, mengalami transformasi terus menerus yang dengan lekas mengusangkan apa yang kemarin masih baru. Luis Buñuel kerap mengeluhkan ketergantungan teknis dalam film. Kemajuan yang begitu cepat membuat sebagian besar film lama menjadi kuno. Menaklukkan waktu yang serba sekejap dengan gambar-gambar yang awet bertahan lama adalah tantangan seorang sineas, dan karena saya menyinggung Buñuel, saya pun mulai membangkitkan gambaran-gambaran dari Un Chien andalou dan L’Age d’or yang terus hidup sekalipun tekniknya telah lama dilampaui.

Saya menyebut di atas film-film bisu karena antara film bisu dan bersuara ada jurang yang sangat dalam. Perkembangan sinematografi tanpa kata telah mencapai keindahan dan kefasihan yang belum berhasil disamai oleh film bersuara. Membuat Anda ingin bersepakat dengan pemikiran Montaigne: “Tandis que tu as gardé silence, tu as paru quelque grande chose.” (Saat kau diam, kau utarakan sesuatu yang besar).

Sebagian besar film komedi –Chaplin, Keaton, Harold Lloyd, Laurel dan Hardy—bergantung pada visual murni untuk membuat lawakannya efektif. Suara merusak, merendahkan, atau mengubahnya. Keaton dan Lloyd rusak. Laurel dan Hardy menurun. Namun Chaplin terubah, ia memberi dunia dua mahakarya komedi bersuara: The Great Dictator dan Monsieur Verdoux.

Narasi plastis film-film seperti La passion de Jeanne d'Arc karya Dreyer, Battleship Potemkin karya Eisenstein, Pandora’s Box karya Pabst, The Wind karya Sjöström, Broken Blossoms karya Griffith, The Crowd karya Vidor, dan terakhir, Sunrise karya Murnau, barangkali film paling indah dari era film bisu, disela dengan brutal oleh kebaruan (hambar) Al Jolson menyanyi “Mammy” dan silih-ganti melodrama teatrikal statis tanpa nilai apapun selain kebaruan bunyi percakapan. Meski Hollywood banyak memberi sumbangan bernilai pada “film genre” –film-film koboi, gangster, protes sosial, belum lagi screwball comedy (comedia loca) dan erotisme sublim dalam ritualisasi tari Rogers dan Astaire—pencapaian ini belum bisa menandingi revolusi teknis, naratif, dan visual yang dihadirkan oleh Citizen Kane karya Orson Welles. Dalam Kane, untuk pertama kalinya, langit-langit kelihatan, fokus di latar depan dan latar tengah sama-sama tajam, suara dan gambar berpadu, waktu dan ruang berwujud, biografi dan sinematografi berbaur.

Eksperimentasi suara Rouben Mamoulian mengembalikan mobilitas balik ke kamera. Lalu ada ekstravaganza musikal yang paling bebas dari Busby Berkeley. Penggunaan yang mengesankan atas film untuk dokumenter oleh Flaherty. Penyutradaraan terukur atas aktor-aktor film, bukan teater, oleh George Cukor. Atau sebaliknya, teatrikalitas disengaja oleh Carné dalam Les Enfants du paradis, seiring sejalan dengan kesengsaraan urban yang menubuh dalam tokoh-tokoh semacam Jean Gabin, Arletty atau Michel Simón, memperluas cakupan dan memberi pengesahan atas aneka ragam genre dalam ranah sinematik. Dan sekalipun komedi bersuara boleh jadi tidak sefasih komedi bisu (Cantinflas bukanlah Chaplin; Abbott dan Costello bukanlah Laurel dan Hardy), dialog dalam film berhasil membedakan dirinya dari dialog teater, terutama dalam perkawinan gemerlap antara lisan dan tindakan dalam komedi-komedi Lubitsch dan Kawks, penampilan bersuara yang sungguh sinematik dari aktor-aktor seperti Cary Grant dan James Cagney, Bette Davis dan Barbara Stanwyck: semua yang terhebat.

Mencipta suatu gaya pribadi tanpa mengindahkan kaidah-kaidah umum, terlepas dari nama besar “bintang-bintang” dan tuntutan komersial “studio”—itulah yang menghadirkan superioritas pada diri segelintir pencipta sejati karya-karya sinematik.

Orson Welles, dalam sebuah mujizat instan, berhasil mempersatukan, melalui gayanya sendiri, kemungkinan-kemungkinan sinema bersuara, biografi seseorang, dan dinamika masyarakat di mana memiliki semuanya sama dengan kehilangan semuanya. Citizen Kane, barangkali, adalah film terbesar abad ke-20. Namun buat saya ia juga tak terpisahkan dari film-film lainnya yang sama-sama membangun dan merontokkan apa yang disebut “the American Dream.” Singin’ in the Rain dari Stanley Donen dan Gene Kelly barangkali adalah karya paling murni dan nikmat dari optimisme Amerika. Gene Kelly dan Cyd Charisse yang indah dan menggemaskan menegaskan neo-Cartesianisme Amerika Serikat: “Aku menari, karena itu aku ada.” Sementara Taxi Driver karya Martin Scorsese adalah mimpi buruk Amerika, kekerasan murni sesuka-sesukanya tanpa alasan, karena segala ada dan segalanya bukan apa-apa. Orson Welles berambisi. Gene Kelly merayakan. Robert de Niro menghancurkan.

Versi-versi personal lainnya dari keindahan sinematografis tampil dari kebudayaan-kebudayaan yang tak begitu narsis dalam merayakan dirinya sendiri dibanding Amerika Serikat. Jean Renoir barangkali adalah teladan dari semangat Perancis: di mana ironi menerangi dan menyelamatkan kita dari ilusi-ilusi nalar dan disilusi fatalitas. Sebuah kecerdasan insani, komprehensif, menyeluruh, jernih, yang membawa kita melampaui Manikheisme gampangan. Pierre Fresnay dan Erich von Stroheim memahami satu sama lain karena mereka begitu mirip, sementara Jean Gabin dan Marcel Dalio memahami satu sama lain justru karena perbedaan mereka.

La Grande Illusion adalah film Eropa abad ke-20 yang bisa bersaing memperebutkan gelar yang disandang Citizen Kane (meski banyak orang akan lebih mendukung mahakarya Renoir lainnya, La Règle du jeu). Namun tidak jauh di belakang mereka kita mendapati sineas-sineas yang –melampaui imajinasi politik dahsyat Welles dan Renoir— mampu memberikan gambaran jernih akan masalah-masalah spiritual, yang terformulasikan barangkali sebagai perangai religius tanpa suatu iman religius: Katolik versinya sendiri, Luis Buñuel; dan Protestan versinya sendiri, Ingmar Bergman; belum lagi Jansenis tulen, Robert Bresson. Dan apakah kita mengerdilkan Alfred Hitchcock bila kita bertanya benarkah rasa takut –tema besar sutradara kawakan Inggris ini—sesungguhnya adalah dramatisasi modern dari Kejatuhan Manusia, yang memisahkan manusia dari Tuhan? Inilah ketegangan yang sebenar-benarnya dari Hitchcock: di mana Tuhan, mengapa meninggalkan kita begitu saja dalam dunia penuh tipu muslihat yang tak terduga? Alangkah mengerikan!

Film juga memiliki kemampuan luar biasa untuk menjadi puisi, seperti L’Atalante karya Vigo dan The Night of the Hunter karya Laughton. Dengan penuh konsistensi, film terus menerus memadukan komentar sosial dengan narasi dramatik. Inilah sumbangan besar sineas-sineas Italia Rosellini, De Sica, dan Visconti. Film sungguh piawai dalam kemampuannya menciptakan suasana, dari yang gelap (sinema noir Amerika) sampai yang terang (adakah film dengan cahaya lebih banyak, baik internal maupun eksternal, dibanding The Wizard of Oz?). Dan bila pengertian “genre” telah membebani bahkan sutradara-sutradara besar seperti Ford dan Kurosawa, dua sutradara Asia harus disebut karena telah mengembalikan kepada film kebebasan kreatif tertingginya di hadapan tirani genre: Kenji Mizoguchi dari Jepang dalam salah satu film favorit saya, Ugetsu monogatari, dan Satyajit Ray dari India dalam trilogi Apu-nya. Mizoguchi mencapai keajaibannya dengan menunjukkan emosi di balik yang remang-reang. Ray, dengan menunjukkan belas kasihan dari tatapan.

Pada akhirnya, ada sesuatu yang tak bisa dipisahkan dari kecintaan akan film, yakni cinta dan keterpukauan yang kita rasakan pada paras-paras sinematik. Dulu, sewaktu saya bersama Buñuel menonton La passion de Jeanne d'Arc karya Dreyer, sutradara besar dari Aragón itu mengaku pada saya keterpukauannya pada facies, wajah sinematik. Jelas cuma bisa hanya ada satu Falconetti, dan barangkali itu sebabnya Pucelle-nya Dreyer itu cuma membintangi satu film sepanjang hidupnya.

Berulang namun unik, butiran debu yang penuh pukau, apalah hidup kita ini sebagai manusia-manusia abad ke-20 tanpa keindahan, ilusi, dan hasrat yang dihibahkan pada kita oleh wajah-wajah Greta Garbo dan Marlene Dietrich, Louise Brooks dan Audrey Hepburn, Gene Tierney dan Ava Gardner? Atas alasan inilah, saya suka sekali menemukan rujukan-rujukan filmis mengenai tatapan di dalam tatapan.

Bogart kepada Bergman dalam Casablanca: “Di sini memandangimu, nak.”

Gabin kepada Morgan dalam Le Quai des brumes: “Matamu indah, kau tahu itu?”

Inilah keajaiban besar sinema: ia mengalahkan kematian. Wajah Garbo dalam adegan pamungkas Queen Christina, wajah dan profil Louise Brooks dengan gaya rambut bak gagak dalam Pandora’s Box, wajah Marlene di antara sifon dan kain-kain barok dalam Shanghai Express dan The Scarlet Empress, María Félix mengelamun sambil disenandungkan serenade di Enamorada, atau Dolores del Rio melihat kematiannya sendiri dalam kematian Pedro Armendáriz di Flor Silvestre, atau wajah Marylin saat menuruni tangga berlapis berlian atau saat ia bergulat dengan uap musim panas New York yang mengangkat rok putihnya dan menyingkap paha putih itu dalam The Seven Year Itch. Wajah-wajah ini, pada akhirnya, adalah realitas final dan absolut dari film: tak satupun dari mereka bisa bertambah tua, tak satupun dari mereka bisa mati. Film menjadikan mereka abadi, inilah kemenangan sinema atas usia dan kematian.

Tak ada teori, tak ada pencapaian artistik yang bisa menutupi atau menghapus kenyataan sederhana tersebut. Itulah realitas kita, percintaan kita yang paling intim namun yang paling banyak diumbar bersama yang lain, dan itu berkat sinema.