Kamis, 21 Agustus 2014

Di Luar Sinema Ketiga


Catatan: Tulisan ini adalah esai pengantar saya untuk Program Kuratorial Amerika Selatan dalam ARKIPEL Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival 2014 yang diselenggarakan di Jakarta, September 2014.


Tak jarang, ada gaya-gaya estetika atau mazhab-mazhab gagasan yang begitu dominan di suatu rentang waktu atau rentang geografis tertentu sampai-sampai ia seperti menjadi penanda identik bagi rentang waktu atau rentang geografis itu. Katakanlah: pop art dengan 1960an, atau strukturalisme dengan Perancis. Identifikasi demikian tentu tak salah, sebab ia lahir dari pendasaran historis-filosofis yang beralasan, tapi juga kadang tak sepenuhnya tepat.

Di Amerika Latin misalnya. Genre realisme magis begitu lekat dengan boom sastra Amerika Latin era 1960an, tapi mengidentikkan sastra Amerika Latin dengan “realisme magis” jelas tak tepat, karena itu berarti menafikan sumbangsih para penulis penting dengan gaya lain seperti Julio Cortázar atau Guillermo Cabrera Infante yang pada era yang sama telah ikut memajukan dan memperkaya sastra Amerika Latin.[1] Realitas kesusastraan Amerika Latin lebih luas daripada sekadar realisme magis.

Demikian pula, pendekatan dan konsepsi film dokumenter di Amerika Latin pernah sangat didominasi oleh apa yang disebut sebagai gerakan Sinema Ketiga (Tercer Cine) yang dimotori oleh Grupo Cine Liberación (Argentina), Cinema Nôvo (Brasil), Grupo Cine de la Base (Argentina), para sineas Kuba, sutradara Glauber Rocha (Brasil), dan sutradara Jorge Sanjinés (Bolivia). Dari istilah-istilah yang dipakainya (“ketiga,” “pembebasan”) kita tentu bisa menengarai arah gerakan ini yang memang melekatkan diri dengan gerakan pembebasan Amerika Latin (atau Dunia Ketiga umumnya) pasca Revolusi Kuba 1959.

Pada Oktober 1969, majalah Kuba Tricontinental menerbitkan –dalam bahasa Inggris—artikel Fernando Solanas dan Octavio Getino dari Grupo Cine Liberación berjudul “Toward a Third Cinema” yang menjadi semacam manifesto gerakan ini.[2] Mengutip Che Guevara, Ketua Mao, dan Juan José Hernández Arregui di sana-sini, Solanas dan Getino menggariskan apa yang mereka maksud sebagai Sinema Ketiga. Bagi keduanya, estetika Hollywood adalah Sinema (Dunia) Pertama, yang mengabdi semata-mata pada komersialisme dan ideologi borjuis. Ideologi ini merasuk ke dalam segala pranata perfilman AS bahkan sampai hal-hal teknis seperti penggunaan kamera 35 mm dengan kecepatan 24 fps (bukan sebagai wahana transmisi ideologi secara langsung, melainkan sebagai wahana untuk memuaskan suatu pandangan-dunia tertentu, yakni pandangan-dunia kapital finansial AS). Sebagai penangkalnya, ada Sinema (Dunia) Kedua, yakni “author’s cinema,” “expression cinema,” “nouvelle vague” dari Eropa yang memungkinkan para sineas di sana mengekspresikan individualitas mereka melalui bahasa yang non-standar. Tapi menurut Solanas dan Getino, Sinema Kedua ini telah mencapai batas terluarnya, yakni kemampuan berbicaranya kepada publik sangatlah sempit dan hal ini membuat para sutradara Eropa “terperangkap.” Maka dalam konteks negara-negara Dunia Ketiga dan perjuangan pembebasan dari neokolonialisme, mereka pun mengajukan Sinema Ketiga, yakni “membuat film-film yang tidak bisa diasimilasi oleh Sistem, atau membuat film-film yang secara langsung atau eksplisit melawan Sistem.”[3]


Manifesto Sinema Ketiga ini terbaca sangat heroik, dan memang setahun sebelum itu, pada 1968, Solanas dan Getino merilis kolaborasi mereka, La Hora de los hornos, dokumenter sepanjang 4 jam yang menangkap dengan sangat cemerlang realitas imperialisme Barat di Amerika Latin. Kini, sekitar setengah abad sesudahnya kita tentu bisa bertanya dan meneliti dengan kritis benarkah ada film-film yang “tidak bisa diasimilasi oleh Sistem”? Tapi terlepas dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin ada, tidak bisa disangkal bahwa ide tentang Sinema Ketiga begitu mengharu-biru Amerika Latin saat itu dan bahkan menyebar hingga ke Afrika. Barang beberapa lama, film-film politik Amerika Latin, baik dokumenter maupun fiksi, seperti identik dengan Sinema Ketiga. Karya-karya dokumenter legendaris seperti Ya es tiempo de violencia (1969) oleh Enrique Juárez dan tiga seri La Batalla de Chile (1975-1979) mahakarya Patricio Guzmán, bahkan juga film fiksi seperti Memorias del Subdesarrollo (1968) karya Tomás Gutiérrez Alea, banyak dikaitkan dengan gagasan ini.

Melihat konteks situasi sosial-politik di Indonesia belakangan, yang diperjelas oleh tema besar Arkipel 2014 “Electoral Risk”, memang terbersit godaan untuk memilih film-film bernafaskan Sinema Ketiga dalam program kuratorial Amerika Latin ini (katakanlah demi relevansi, demi pembelajaran politik, atau apapun). Tapi pada akhirnya, kurasi ini justru memilih yang di luar itu. Bukan apa-apa. Pilihan ini sebenarnya ingin mengatakan bahwa tidak hanya ada satu cara tunggal dalam berkesenian, berpolitik, atau berkesenian yang politis. Sama seperti “realisme magis”, apabila Sinema Ketiga telah menjadi wacana dominan, kita perlu menengok keluar darinya untuk melihat realitas yang lebih luas. Bukan sekadar “ingin tampil beda” atau keangkuhan-keangkuhan hipster lainnya yang semacam itu, tapi ini krusial: di luar Sinema Ketiga, sebelum dan sesudahnya, ada banyak karya dokumenter Amerika Latin yang sungguh perlu ditengok secara estetis dan politis.

Dua film pilihan dalam program kuratorial ini mengandung perbedaan-perbedaan mencolok: Araya (1959, sebelum Sinema Ketiga) karya Margot Benacerraf difilmkan dalam hitam-putih, dengan suara narator layaknya dokumenter umumnya, sementara Suite Habana (2003, jauh sesudah Sinema Ketiga) karya Fernando Pérez difilmkan dalam warna, tanpa narasi atau dialog apapun. Tapi keduanya juga punya kesamaan tematik penting: bercerita tentang satu hari dalam kehidupan orang-orang dalam kelompok masyarakat tertentu—dalam Araya: masyarakat pesisir ladang garam di semenanjung terpencil Venezuela; dalam Suite Habana: warga kota Havana pasca runtuhnya Uni Soviet dan komunisme. Dalam beberapa hal keduanya bisa dibilang serupa. Di Araya, kehidupan nyaris tak berubah selama hampir 5 abad. Di Havana, saat Kuba harus mandiri di tengah embargo AS yang tak masuk akal, penduduk kota itu sepertinya bertahan dengan apa yang ada. Tak maju dan tak mundur. Laut dengan segenap hempasan ombaknya, yang di mana pun adalah sarana bagi datangnya progresi maupun destruksi, di Araya dan di Havana justru tampak bagaikan tameng yang mengucilkan dan mengebalkan mereka dari perubahan.




Ada satu kesamaan lain dari keduanya yang jelas merupakan poin terpenting dari kurasi ini: kedua film ini adalah puisi. Puisi menjadi puisi karena ia tidak bisa dibahasakan dengan cara lainnya. Dalam prosa, seseorang bergerak dari gagasan, lalu mengisinya dengan gambaran-gambaran, adegan-adegan, yang dirasa pas untuk menebalkan, mengisi, dan memberi daging bagi gagasan itu. Tapi puisi bermula dari gambaran –konkret maupun kelebatan—lalu bergerak sebaliknya. Atau seperti kata sutradara Cile, Raúl Ruiz, dalam konsepsinya mengenai “puitika sinema”: “Dalam semua film naratif –dan sampai taraf tertentu dalam semua film—gambarlah yang menentukan tipe narasi dan bukan sebaliknya.”[4] Saya kira ini berlaku untuk Araya dan Suite Habana. Tak terbayang rasanya, dengan materi gambar yang diambilnya, Benacerraf atau Pérez bisa membuat karya lain selain apa yang mereka buat ini. Dan inilah simpul kuratorial untuk kategori Amerika Latin kali ini: memberikan kemungkinan lain dalam mengaitkan estetika film dengan komitmen sosial-politik, di luar apa yang sudah lazim dikenal selama ini sebagai Sinema Ketiga.





[1] Saya pernah membahas ini dalam “Sastra Amerika Latin: Tak Sekadar Macondo vs. McOndo,” Kompas, Minggu, 23 April 2006.
[2] Octavio Getino dan Fernando Solanas, “Toward a Third Cinema,” Tricontinental No. 14, Oktober 1969, hlm. 107-132 (Havana: Organización de Solidaridad de los Pueblos de África, Asia y América Latina).
[3] Ibid., hlm. 120
[4] Raúl Ruiz, Poética del cine (Buenos Aires: Editorial Sudamericana, 2000). Bukan kebetulan Raúl Ruiz yang dikutip di sini. Meski menentang keras kediktatoran Pinochet, Ruiz berbeda dengan sutradara-sutradara segenerasinya seperti Patricio Guzmán atau Miguel Littín yang sangat bernafaskan Sinema Ketiga. Karya-karya Ruiz jauh lebih eksperimental.

1 komentar: